Wednesday, May 30, 2007

Dibutuhkan Pemimpin Pemberani

Rival politik yang masih termasuk keluarganya menganggap ia sebagai maniak kekuasaan, betapa tidak? Linangan air mata belum lagi dihapus dari pelipis, tanah pemakaman masih bergetar oleh pijakan langkah kaki terakhir. Kini sang pengganti telah memulai atas nama kekuasaanya, sebait tulisan telah diselesaikannya, wajahnya serius, ia tak ingin surat itu tertunda barang sekejappun. Maka disuruhlah para utusan untuk memberikan surat sakti itu kepada orang-orang yang dituju.
Siapapun pasti penuh dengan kecemasan dan harapan ketika harus menerima surat tersebut, sebab yang menulis adalah seorang yang memiliki bentangan kekuasaan mulai dari Afrika Barat sampai Asia Tengah. Sehingga titahnya tidak mungkin ditolak apalagi dilawan.


Beberapa surat berisi pemecatan kepada pejabat-pejabat yang zhalim, mereka disuruh datang kehadapannya untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosa mereka.
Tinggalnya bukan di istana seperti pendahulunya tetapi hanya di sebuah gubuk yang amat sederhana, makannya hanya makanan rakyat biasa yang paling bawah. Pakaiannya Cuma dua atau tiga lembar saja, kawan-kawan dekatnya bukan para penyair yang penjilat tapi para ulama dan orang-orang saleh.
Dalam setiap kasus hukum yang terjadi antara pejabat pemerintah dan rakyat, maka pembelaannya lebih banyak kepada rakyat daripada pejabat.
Meskipun ia dan keluarganya hidup amat sederhana, tetapi ia mencukupi semua pegawai pemerintah, rumah, kendaraan, pakaian, dan gaji yang amat memadai, sehingga tidak ada alasan bagi pegawai pemerintah itu macam-macam, maka ia pejabat itu sama saja meletakkan jabatannya sekaligus menghadapi hukuman.


Itulah dia sang pemimpin yang didatangkan dalam kondisi amat ekstrim, dimana daerah yang dikuasainya itu dulu berpenghasilan 120 juta dirham kini ia mewarisi penghasilan 25 ribu dirham saja. Karena kebanyakan kekayaan disedot oleh para pejabat yang korup, penjilat serta operasi militer yang begitu mudah menumpahkan darah rakyat. Akibatnya rakyat yang sudah susah dalam mengurus hidupnya harus pula berhadapan dengan aparat kejam yang menganggap segala sesuatu yang terjadi adalah akibat ulah rakyat.
Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali memerangi korupsi tersebut dengan memutus mata rantai yang sudah berlaku. Ia memecat pejabat-pejabat yang amat jelas dalam prediksinya sebagai koruptor, meski terkadang pejabat itu masih ada hubungan kekerabatan dengan dirinya.
Pandangannya lurus dan penuh perhitungan, ia tak ingin laporan pejabat menjadi alasan untuk bertindak, tetapi sebaliknya, pejabat itulah yang disalahi terlebih dahulu, "Kenapa mesti terjadi?"
Pernah suatu hari, ia menerima surat dari Gubernur di Kurasan, yang isinya meminta izin kepadanya untuk menggunakan kekerasan terhadap penduduk di sana. Dalam surat itu disebutkan:
"Mereka tidak dapat diperbaiki selain dengan pedang dan cambuk..!"
Dan jawabannya kepada Gubernur itu adalah:
"Anda dusta..! Yang dapat memperbaiki mereka adalah keadilan dan kebenaran. Oleh sebab itu, ciptakanlah di kalangan mereka suasana seperti itu. Dan ketauhilah bahwasannya Allah tidak akan memberikan kebaikan pada amal mereka yang berbuat kerusakan…"


Dia sang pemimpin, yang senantiasa memerintah dengan keadilan dan kasih sayang itu, sangat takut kepada Allah, kalau-kalau kepemimpinan yang diembankan pada dirinya, kelak menjadi beban yang amat berat. Sehingga bila malam selalu menangis di pondoknya, buah pikirannya selalu terbayang nasib si miskin yang kelaparan, orang yang merintih kesakitan karena tak mampu berobat, orang-orang kecil yang tak dibayarkan upahnya, orang-orang yang menanggung keluarga besar dengan penghasilan kecil.
"Aku takut Allah Subhanahu wata'ala akan meminta pertanggung-jawabkan kepadaku di kahirat kelak… Sedangkan pembela mereka yang jadi lawanku nanti adalah Rasulullah Salallahu alaihi wassalam. Aku betul-betul takut tak dapat mengemukakan jawaban di hadapannya. Itulah sebabnya aku menangis..!


Itulah dia rintihan sang pemimpin mulia: Umar bin Abdul "Aziz
Kilas balik kisah itu perlu kita renungkan dan kita camkan sebagai pelajaran, bahwa peroalan kemanusiaan adalah persoalan yang senantiasa berulang kembali.
Seperti yang terjadi di negeri ini, krisis ekonomi dan krisis akhlak, serta diperparah oleh pejabat-pejabat korup telah membawa negeri ini pada kondisi yang amat buruk. Kalau mau membandingkan kisah di atas itu, tidak jauh berbeda di antara keduanya.
Kondisi tersebut sudah demikian lamanya berlangsung. Sehingga setiap kejahatan birokrasi sudah menjadi budaya yang berakar kuat, menancap di dalam jiwa masyarakat kita.


Maka dibutuhkan seseorang yang mampu merubahnya secara ekstrim. Sebab dengan kondisi yang demikian itu tidak bisa dirubah dengan cara yang biasa saja. Kita pun menyadari akan terjadi perombakan yang besar-besaran dan berakibat banyaknya pihak-pihak yang tidak senang. Bahkan tidak sedikit banyak harga diri berjatuhan, tapi itulah sebuah harga kebenaran dan keadilan.

(sumber: Mihwar Keadilan)